Semua Orang Bisa Meniru Usahamu, tapi Tidak dengan Rezekimu
Kadang, heran juga melihat para penggiat usaha di pasar. Penjual buah misalnya, dari ujung sini sampailah ujung sana semuanya berjualan buah. Bahkan, tidak ada selangnya sama sekali. Beda dengan warung yang sejatinya tidak berderet, selang 4-5 rumah barulah ada warung.
Kalau sejenak dipikirkan, agaknya dari mana mereka dapat uang jika menjual barang dagangan yang sama dan bersebelahan satu dengan lainnya. Di sini jualan apel, jeruk, salak, rambutan, di sebelah juga memiliki jenis jualan yang sama.
Ada penjual buah yang sudah senior, taruna, dan ada pula yang masih debutan. Semuanya bersaing untuk menyenangkan hati pelanggan. Tiada perbedaan yang berarti melainkan merek dagang, warna timbangan, dan susunan buah. Jualan lainnya juga demikian.
Hebatnya mereka tetap bertahan bahkan sampai hari ini. Anak-anak mereka bisa sekolah, dan ada juga yang sudah tamat kuliah. Sungguh hebatnya ikhtiar, tidak pernah menghianati hasil.
Namun, kita tidak memungkiri fakta bahwa ada juga sebagian orang yang usahanya tidak mau disaingi. Penjual mi ayam misalnya, tidak mau membagikan resep rahasianya kepada orang lain karena khawatir usahanya bangkrut.
Padahal, jika memang rasa mi ayam itu enak maka usahanya tidak akan bangkrut. Pembeli pasti peka dan ingat di mana terakhir mereka beli mi ayam yang enak. Walaupun merek dagang mi ayam itu kadang mudah terlupakan, namun perihal lokasi dan rasa pembeli tidak akan mudah lupa.
Gorengan, nasi padang, ayam geprek, bakso bakar, siomay, dan dagangan lain juga demikian. Kalau memang sudah dibeli sekali dan rasanya kurang bermakna, toh pembeli tinggal cari tempat lain.
Usaha Apapun, Semua Orang Boleh Tiru
Mencari inovasi dalam usaha dagang sebenarnya cukup sederhana. Trik inovasi adalah ATM, yaitu Amati, Tiru dan Modifikasi. Makanya tidak heran jika banyak sekali jenis jualan yang sama. yang beda hanya ukuran atau porsinya, varian rasa, merek dagang, susunan dagang, hingga harga yang lebih murah.
Semua hanya diperuntukkan untuk menarik minat pembeli. Biarpun soal rasa tetap menjadi prioritas, namun soal rupa masih terus digaungkan. Terang saja, orang kadang lebih suka membeli buah jika warnanya cerah, susunannya rapi, bersih, dan juga harganya yang merakyat. Soal asam-manis rasa, belakangan.
Jadi, tidak ada masalah dengan jenis usaha yang sama maupun bersebelahan. Yang bermasalah hanyalah tentang kualitas barang, mengecewakan pembeli atau menyenangkan pembeli. Tentang penjualnya, suka berbohong, suka mengurangi timbangan atau tidak.
Jika pemilik usaha dagang jujur, mantap dalam melayani, dan kualitas dagangannya tidak mengecewakan, rasanya tidak perlu lagi mereka promosi dengan berteriakan di pasar. Kehidupan pasar begitu keras, hingganya tidak hanya klakson kendaraan yang memekik, tapi juga perkataan manusianya. Wajar jika melelahkan, tapi itulah ikhtiar.
Rezeki Seseorang Tidak Bisa Ditiru
Usaha dagang apapun, semua orang boleh tiru. Mulai merek usaha, harga, susunan, varian rasa, desain tempat, bahkan porsinya pun bisa disamakan. Dari sana, penghasilan yang didapat antara pedagang satu dan lainnya cukup bervariasi. Adakalanya meningkat, adakalanya menurun, dan adakalanya segitu-segitu saja.
Karena perbedaan-perbedaan ini, tidak jarang muncul rasa iri antar sesama pedagang.
Padahal, usahanya sama, posisinya bersebelahan, cara promosi sama bahkan cenderung lebih sering, tapi mengapa berbeda hasilnya?
Di sinilah titik simpul berlaku, bahwa rezeki seseorang tidak bisa ditiru. Nyatanya rezeki bukan hanya soal berapa rupiah yang didapat, melainkan juga tentang nikmat-nikmat lain yang mengiringinya.
Si K mungkin laris-manis jualannya, bahkan selalu laris. Jika saja jualan Si K tidak laku, mungkin anaknya tidak bisa sekolah atau kehidupannya akan berhenti sejenak. Artinya, rezeki itu sudah dicukupkan bagi tiap-tiap orang.
Berbeda memang, bahkan karena saking berbedanya rezeki itu bisa datang tanpa disangka-sangka. Penjual buah tiba-tiba diborong semua buah-buahnya. Rumah makan, tiba-tiba dapat orderan 1000 bungkus nasi padang. Tukang bubur, tiba-tiba dapat rezeki naik haji.
Hal-hal ini sungguh tak terduga, tapi nyata. Terang saja, mungkin selama ini penjual buah senang bersedekah tanpa terlihat. Mungkin selama ini pemilik rumah makan sering menyisipkan nasi bungkus untuk anak-anak yatim.
Dan mungkin juga selama ini tukang bubur selalu giat dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Tuhan. Kalau sudah Tuhan yang turun tangan, tiada sangkaan apapun yang bisa tersanggahkan.
"Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya." (QS At-Talaq: 2-3)
Jika usaha yang sungguh-sungguh akan meraih kata berhasil tanpa penghianatan, maka takwa dan tawakal akan menghasilkan sesuatu yang tiada disangka-sangka. Pedagang buah mungkin bisa mengukur berapa keuntungan jika seluruh dagangan buahnya terjual.
Tapi, soal sehat dan mampunya pedagang buah berjualan di esok hari, siapa yang tahu. Akan sia-sia juga jika hari ini dagangan habis, dan besoknya langsung sakit. Pedagang buah tidak akan bisa berjualan dan tidak lagi dapat uang.
Dari sinilah tersingkap makna bahwa sejatinya rezeki itu tidak melulu soal uang. Jika kadar rezeki hanyalah sebatas uang, maka beberapa saat lagi kita bisa mati karena kehabisan uang.
Nyatanya, pengemis walaupun tidak selalu dapat uang, ia masih hidup. Masih ada jalan hidup yang Allah berikan lewat kerelaan salah satu hamba-Nya memberikan nasi bungkus.
Usaha masih didekatkan dengan penghianatan, karena berusaha keras sekalipun masih juga ada gagalnya. Tapi, tidak dengan takwa dan tawakal.
Jika Allah mengambil sesuatu dari kita yang tidak disangka-sangka, namun hati ini tetap pada takwa dan tawakal, maka kelak Allah akan memberikan kita sesuatu yang juga tidak pernah kita sangka akan memilikinya.
Salam.
Sumber : kompasiana.com
0 Response to "Semua Orang Bisa Meniru Usahamu, tapi Tidak dengan Rezekimu"
Post a Comment