Kisah Dina Faisal, News Anchor Jadi Desainer Kain, Rela Tidur Dekat Kandang

 Jakarta - Dina Faisal bukan orang asli Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, kecintaannya pada kain tradisional Lombok begitu dalam. Banting setir dari profesi reporter tv berita swasta, Dina kini fokus melestarikan wastra Nusantara dan membudidayakan benang tenun pewarnaan alam di NTB.



Indonesia kaya akan warisan budaya berupa kain tradisional yang ada di hampir setiap daerah. Namun sayang, kain ini masih kurang diapresiasi, bahkan oleh orang Indonesia sendiri.

Padahal, memakai kain atau baju tradisional bisa mencerminkan identitas suatu bangsa sekaligus menumbuhkan rasa nasionalisme. Tak cuma itu, perekonomian daerah pun ikut terbantu sehingga mensejahterakan para perajin kain dan mendorong regenerasi perajin agar wastra Indonesia tak punah.

Bukan tanpa alasan kain tradisional, khususnya songketan, tak populer di negeri sendiri. Bahan kain yang berat dan kasar membuat orang enggan memakainya, apalagi sebagai busana sehari-hari.

Bagi Dina Faisal, solusinya ada pada penggunaan bahan organik. Kapas yang menjadi bahan baku utama benang tenun adalah salah satunya. Hanya saja, Indonesia belum bisa menghasilkan kapas sendiri untuk memenuhi permintaan pasar.

"Hampir 99,9 persen kapas diimpor. Padahal, Indonesia merupakan penghasil kapas terbesar zaman VOC," ungkap perempuan bernama lengkap Laila Hajarul Aswadina itu saat berbincang dengan Wolipop di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Keresahan tersebut yang akhirnya memotivasi Dina Faisal bersama suaminya, Lalu Hilman Afriandi, mendirikan Bidadariku pada 2020. Berbasis di Lombok, NTB, Studio Bidadariku fokus memproduksi songket dan benang yang terbuat dari material dan pewarnaan alami.


Bersama tim Bidadariku yang terdiri dari penenun dan pencelup kain, ia menggarap songket bermotif 'Mayura', sebutan masyarakat lokal untuk burung merak. Songket yang digunakan terbuat dari benang katun yang cukup tipis. Adapun bahan baku benang tersebut adalah kapas yang telah melalui proses merserisasi.

Songket ini memiliki warna dasar biru yang berasal dari daun tarum (Indigofera tinctoria). Terdapat pula warna-warna tambahan seperti merah bata dari larutan ekstrak kulit kayu tingi (Ceriops tagal), dan emas dari bunga marigold alias kemitir (Tagetes erecta). Semua bahan alami yang digunakan berasal dari alam sekitar Lombok.

Dina mengatakan, warna yang lebih awet atau tak mudah luntur hingga nyaman di kulit adalah beberapa nilai tambah kain dengan pewarnaan alami. Kelebihan lain tentunya limbah yang eco-friendly atau ramah lingkungan. "Saya mendaur ulangnya sebagai pupuk. Tanaman di rumah saya jadi tumbuh lebih subur," ungkap perempuan 34 tahun itu.

Di Bidadariku, Dina dan Afriandi berbagi tugas. Dina fokus pada produksi kain dan benang, serta hal yang berkaitan dengan inovasi dan pengembangan desainnya. Sementara itu, urusan menggerakkan para perajin dan menggandeng pihak terkait hingga pencarian lahan perkebunan kapas ditangani oleh Afriandi.

Dina terkejut ketika mengetahui bahwa NTB ternyata memiliki 200 hektar perkebunan kapas yang tersebar di berbagai daerah. Sayang, banyak di antaranya belum dikelola dengan baik.

Ia berharap, kehadiran Bidadariku yang berada di bawah naungan PT. Difa Nusantara Abhipraya dapat memotivasi keseriusan pemerintah daerah dalam menggarap kapas sebagai bahan baku untuk menghasilkan songket-songket NTB dengan kualitas terbaik dan berdaya saing tinggi.


Kenal Kain Sejak Kecil
Dina Faisal lahir dan besar di Balikpapan, Kalimantan Timur. Sejak kecil, perempuan berdarah Bugis ini sudah akrab dengan kain-kain Indonesia. Ibunya dulu suka menjual kain sembari bekerja sebagai guru dan PNS di Kementerian Agama.

Dina juga sering menemani sang ibu belanja kain di pasar untuk dijahit. Hampir semua baju Dina dan kembarannya semasa kecil adalah hasil jahitan sang ibu.

"Dari situ, saya mulai kenal nama-nama kain, serta teknik jahitannya. Kadang saya iseng menjahit baju untuk koleksi boneka barbie saya karena kalau mau beli mahal," kenang bungsu empat kakak ini.

Walau punya ketertarikan pada kain Nusantara dan keahlian dasar menjahit, Dina justru memilih karier yang berlawanan. Tertarik dengan dunia komunikasi, alumnus Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama ini bekerja sebagai jurnalis media elektronik.

Pada 2008, Dina yang pernah menjuarai kompetisi modeling menjadi reporter dan presenter berita TVRI. Setahun kemudian, ia pindah ke tvOne dan menjabat posisi yang sama bersama saudari kembarnya, Dita Faisal. Meliput isu-isu politik hingga bencana alam menjadi pekerjaannya sehari-hari.

Setelah hampir enam tahun menggeluti dunia jurnalistik, Dina merasa sudah tiba waktunya untuk hengkang dan mencari pengalaman di bidang lain.

Pada 2015, datang tawaran untuk menjadi staf ahli DPD RI Dapil Kalimantan Timur Muhammad Idris S. Tanpa berpikir dua kali, ia menerima pekerjaan tersebut.

Di Senayan lah, Dina bertemu sang jodoh. Afriandi, seorang putra daerah dari Lombok, kala itu menjabat sebagai staf ahli anggota DPD RI Dapil NTB di Ibu kota Negara Suhaimi Ismy.

Seperti Dina, Afriandi rupanya punya ketertarikan di bidang seni, khususnya kerajinan dan kain-kain Indonesia. Persamaan itu pula yang semakin mendekatkan mereka

Dari Afriandi, Dina berkenalan dengan wastra khas NTB. "Hampir semua teknik ikat dan songketan yang ada di Indonesia bisa kita temukan di NTB," ungkap Dina akan kekagumannya pada tenun Lombok.

Dari perkenalan itu, muncul komitmen untuk melestarikan dan mengembangkan tenun Lombok. Ia mempertegas komitmen tersebut saat suaminya mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Kegiatan Afriandi kampanye ke desa-desa dimanfaatkan Dina untuk melakukan riset tentang kain. "Saya sampai tidur di rumah warga yang kamarnya samping kandang sapi," kenangnya.

Untuk memperdalam ilmu tentang wastra Indonesia, ia berguru pada Sativa Sutan Aswar yang adalah seorang pemerhati sekaligus pembina perajin kain Nusantara. Belakangan, Sativa memercayakan Dina untuk melakukan pembinaan bersamanya di beberapa daerah.



Banyak impian yang ingin dicapai Dina. Salah satunya mempopulerkan lagi baju tradisional lambung khas suku sasak di tengah kaum perempuan NTB.

"Lambung mulai ditinggalkan karena banyak beredar buatan pabrik dengan pewarnaan sintetis yang cenderung tak nyaman dipakai. Harapannya, nanti semakin banyak tenun Lombok yang terbuat dari benang kapas dan perempuan NTB mau memakai lambung lagi," kata Dina yang berbusana lambung ketika ditemui.


Menggarap kain-kain tenun dari daerah lain juga menjadi impian Dina Faisal. Tanpa terkecuali tenun dari daerah asalnya di Kalimantan Timur. Tapi salah satu ambisi terbesarnya mengibarkan Merah-Putih pertama yang terbuat dari benang kapas dengan pewarnaan alami. "Kami masih eksperimen warna merah yang pas. Semoga bisa kejadian dalam waktu dekat," katanya.















sumber.detik.com






































































0 Response to "Kisah Dina Faisal, News Anchor Jadi Desainer Kain, Rela Tidur Dekat Kandang "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel